Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) adalah Suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada sector pemerintahan atau sector swasta, yang memiliki posisi dan wewenang yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan.Menurut Federal Beureau Investigation (FBI) kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah berbohong, curang, dan mencuri. Istilah ini diciptakan pada tahun 1939 dan sekarang identik dengan berbagai macam penipuan yang dilakukan oleh para profesional bisnis dan pemerintah. Sebuah kejahatan tunggal dapat menghancurkan sebuah perusahaan, keluarga bahkan menghancurkan atau memusnahkan kehidupan mereka melalui tabungan, atau investasi biaya miliaran dolar (atau bahkan tiga, seperti dalam kasus Enron). Penipuan semakin canggih dari sebelumnya, dan diperlukan orang yang berdedikasi untuk menggunakan keterampilan melacak pelaku penipuan dan berhenti bahkan sebelum pelaku kejahatan mulai. Kejahatan kerah putih ini biasanya merupakan lanjutan dari kecurangan yang dilakukan oleh seseorang.Menurut Dony Kleden Rohaniwan (2011) seorang Pemerhati politik, kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Contoh kejahatan kerah putih adalah pencucian uang (money laundering), penipuan kepailitan (fraud bankruptcy), penipuan perusahaan, penipuan kredit rumah, penipuan asuransi, penipuan saham dan efek, penipuan lewat internet, kredit fiktif, dan penipuan lain yang berhubungan dengan uangMenurut Gunadi (2009) dalam kejahatan kerah putih yang juga disebut kejahatan keuangan berlaku beberapa aksioma yaitu:1. Kecurangan selalu tersembunyi.2. Pelaku tidak menandatangani dokumen (memerintahkan orang lain untuk menandatangani).3. Pelaku tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP).4. Pelaku ingin menikmati hasil kejahatannya.Oleh karena itu, maka harus dilakukan investigasi yang tepat untuk merekam jejak transaksi finansial (follow the money) untuk menghasilkan temuan yang berkualitas dan sulit untuk dipungkiri.
1. Tindak Pidana Korupsi Fenomena korupsi dapat menjadi
objek kajian dari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu administrasi,
ilmu politik, kriminologi, ilmu hukum pidana, dan sosiologi, dan sosiologi.
Masing-masing cabang ilmu dapat menyorotinya dri sudut yang berbeda sesuai
dengan ruang lingkupnya.Dictionary of Justice Data
Terminology mendefenisikan white collar crime sebagai non violent crimedengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan financial yang dilakukan dengan menipu oleh
orang yang memiliki status pekerjan sebagai penguasa, profesional, semi
profesional dan menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar
pekerjaan.Kajian kriminologi mendapatkan
korupsi secara umum sebagai white
collar criminal atau
kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak yang terlibat atau
keduanya berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya. Sesuai dengan
karakteristik white
collar crime, yang memang susah dilacak karena biasanya
pelaku adalah orang yang memiliki status sosial tinggi (pejabat), memiliki
kepandaian, berkaitan dengan pekerjaannya, yang dengannya memungkinkan pelaku
bisa menyembunyikan bukti. Kriminologi menempatkan korupsi sebagai salah satu
bentuk perilaku menyimpang khususnya yang bersumber pada penggunaan kekuasaan.
Kriminologi mengkaji perkembangan bentuk-bentuk perilaku korupsi,
sebab-sebabnya dan perlakuan terhadap pelaku dan korban.Ada banyak pengertian dan defenisi
tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefenisikannya.
Bisa dari perspektif legal, ekonomi atau politik. Secara umum pengertian
korupsi harus diletakkan dalam ranah publik. Pemberian defenisi korupsi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu luasnya fenomena yang diamati dan sudut
pandang untuk melihat fenomena tersebut. Berdasarkan faktor-faktor tersebut,
ada yang memberikan pengertian korupsi yang luas yaitu semua bentuk
penyimpangan terhadap kewajiban yang dibebankan. Yang lainnya memberikan
pengertian yang sempit yaitu hanya setiap penyimpangan dalam penggunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi.Arrigo dan Claussen (2003)
misalnya mendefenisikan korupsi sebagai “mengambil atau menerima suatu
keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu
tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan”. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala
bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri
sendiri adalah perbuatan korupsi.
2. Reaksi Sosial Secara umum ternyata ada kelas
yang membedakan perlakuan sosial masyarakat, termasuk piranti/aparat hukum,
terhadap berbagai jenis kejahatan yang ada. Sudah bukan rahasia bahwa polisi
masih sulit meninggalkan hobi mereka untuk menyiksa para tersangka kejahatan
kelas teri, hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sesuai dengan keinginan
mereka. Belum lagi sebagian anggota masyarakat yang seringkali diminta atau
tidak juga ikut menyumbang pukulan dan tendangan.Sulit dijelaskan apa yang
menyebabkan timbulnya perbedaan perlakuan sosial terhadap para pelaku kejahatan
ini, terutama jika ditinjau dari sudut logika, meskipun keduanya sama-sama
tersangka pelaku kejahatan. Padahal sesungguhnya yang membedakan hanyalah
pembagian kelas kejahatan menurut standar barat. Mereka yang beresiko mendapat
perlakuan kekerasan fisik adalah tersangka pelaku kejahatan kerah biru (blue
collar crime), yakni merek yang di dalam tatanan masyarakat dianggap
sebagai kelas buruh, kelas orang biasa, kelas the man on the street. Sementara
para tersangka kasus korupsi digolongkan dalam tersangka kejahatan kerah putih
(white collar crime). Mereka ini memang memiliki status sosial yang
cukup baik di masyarakat, serta tentunya memiliki kesempatan untuk melakukan
korupsi.Koruptor memang maling berkelas.
Saking berkelasnya, masyarakat bahkan media, cenderung lebih hati-hati
memperlakukan mereka. Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kejahatan mereka menunjukkan hal itu. Sanksi moral untuk koruptor cenderung
lebih ringan dibanding sanksi moral terhadap maling ayam. Orang masih bisa
membungkuk hormat di hadapan orang yang sudah nyata-nyata diputus pengadilan
sebagai koruptor.Belakangan, korupsi malah
cenderung dianggap sebagai perbuatan terhormat. Rasanya kurang pas kalau ada
kesempatan, tapi tidak melakukan korupsi. Selain bisa menunjang semangat memuja
kebendaan, korupsi juga bisa menaikkan popularitas, yang dalam skala tertentu
bisa mencapai tujuan politis maupun tujuan lainnya. Bahkan kalau berhasil lolos
dari jeratan hukum, terkesan ada semacam kebanggaan bahwa diri sang pelaku
memiliki kehebatan luar biasa, kekebalan hukum, sekaligus barangkali ketebalan
muka di atas rata-rata, sehingga membuat yang bersangkutan semakin menepuk
dada.
3. Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Inti dari perbuatan korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).
Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk
kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus ditelusuri dari
hal-hal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu. Menurut
pandangan teori behavioris, tingkah laku seseorang adalah fungsi dari
lingkungannya. Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons
seseorang terhadap stimulus dari lingkungannya.Secara psikologis, tentu
menjadi jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan wewenang tersebut bisa saja
terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kencendrungan (sifat)
untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik
kepribadian.
4. Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dominannya unsur jabatan dalam
tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit
dilacak secara yuridis dibandingkan dengan rata-rata pelaku tindak pidana lain,
karena ia memiliki kedudukan yang ditopang oleh berbagai ketentuan yang
memungkinkan dijalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu,
korupsi yang dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan (policy) yang sah,
sehingga dari segi hukum dapat dinilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi
jabatan resmi yang pelakunya adalah Pejabat Tinggi Negara.Di belahan bumi manapun,
senantiasa terdapat kecendrungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara
korupsi sulit dijerat hukum. Dakwaan korupsi terhadap beberapa petinggi
negara memiliki kesamaan prinsipil, yakni bahwa tindak pidana yang didakwakan
tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang disandang tatkala kejahatan itu
dilakukan. Jabatan (okupasi), yang didalamnya mengandung sejumlah power and
authority (kekuasaan dan kewenangan), menjadi instrumen utama dimungkinkannya
kejahatan yang dituduhkan itu dapat dilaksanakan pelaku. Untuk menumbuhkan
citra hukum ditegakkan proses hukum formal mungkin dijalankan. Tetapi berkat
berbagai power (terutama politik dan uang) tersebut, hasil akhir proses itu
sejak awal sudah dapat diramalkan. Mereka akan bebas dari segala tuntutan.Itulah antara lain sebabnya,
semakin tinggi tampuk jabatan yang diduduki, semakin powerfull pelaku tindak
pidana ini. Oleh karena, hampir senantiasa bertalian dengan jabatan, maka
tindak pidana korupsi sering pula dikelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni
kejahatan yang terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis
pekerjaan tertentu yang dilindungi undang-undang.Seorang Kriminolog dari Kanada, Ezzat E Fattah (1997), menamakan mereka
sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang
kekuasaan (powerfull criminals and criminals in power). Menurut kriminolog
tersebut, penjahat-penjahat jenis tangguhan ini terdiri dari dua kelas:
pertama, yang tak tersentuh (untouchable), yakni pelaku-pelaku kejahatan
yang realitasnya benar-benar berada di atas hukum (above the law), seperti
Hitler, Idi Amin, Pinochet, dan sebagainya pada saat mereka berkuasa. Kedua,
yang tak terjangkau (unreachable). Termasuk dalam kategori ini adalah
para pelaku kejahatan yang berkekuasaan (formal maupun informal) yang cukup
tinggi dan sangat sulit dijangkau tangan hukum, kecuali dengan kesulitan yang
besar dan dalam kondisi-kondisi khusus.
5. Korban Tindak Pidana Korupsi Korban korupsi tidak berwajah
karena korban korupsi sering tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama
yang terkait dengan penyelewengan uang Negara atau Rakyat. Selain itu kerugian
yang diakibatkan oleh perilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat
dirasakan oleh korban. Korupsi bisa mempunyai akibat lebih dasyat dari pada
pencurian, perampokan dan pembunuhan, tanpa bisa terlihat hubungan langsung
sebab-akibat karena antara keputusan/tindakan dengan konsekuensi-konsekuensi
atau korban, ada jarak. Jarak itu diantarai oleh struktur atau model pengorganisasian
tertentu. Untuk mengungkap kesalahan dan bisa menimpakan tanggung jawab perlu
melacak serangkaian keputusan, keterlibatan banyak pelaku organisasi dalam
bentang waktu dan tempat tertentu.Dalam kehidupan keseharian
timbul pemahaman bahwa koruptor tidak merasa bersalah. Oleh karena dalam
melaksanakan korupsi tersebut pelakunya melibatkan banyak orang sehingga
seolah-olah kejahatan ini adalah sesuatu yang biasa dan merupakan hak. Dengan
melibatkan banyak pihak yang biasanya adalah orang-orang penting dalam suatu
negara, maka semua harus ikut bertanggung jawab. Maka dengan kata lain
kejahatan kualitas ini dapat disebut sebagai kejahatan terorganisir yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat negara (State Organization Crime), (W..
Chambliss 1968).
http://mynameisanggun-bukuhariananggun.blogspot.co.id/2012/01/kejahatan-kerah-putih-white-collar.html
http://dunia-blajar.blogspot.co.id/2015/10/kejahatan-kerah-putih-white-collar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar